LINTAS PEWARTA - Kesunyian itu bersambung bersama episode kesepian lainnya, setelah sekelebat badai menerpah titian kehidupan, bergantian zaman ke waktu, seperti ombak hempas memukul batu karang dari gelombang jahanam tirani ke tirani.
Semua badai itu menghujam bathin, menyeret relung, mengoyak rasa, menyikam sukma serta menyayat nurani. Hingga terus dan akan mengitari palung waktu, selama lautan penindasan tiada teduh nan damai di temu pada persada bangsa koloni.
Setenggang luka dan duka, kian akan menjadi tontonan di tiap tayangan pada layar kehidupan, laksana angin yang tertiup menyibak dada lalu usang sekejap.
Baca Juga: Benarkah Golkar Sudah Resmi Umumkan Calon Presiden? Simak Penjelasan Airlangga Hartarto
Air mata berlinang sesaat dan resap seketika mencari ratapan lain, telingga terbuka hanya mengumpul bahan cerita dan menanti menguping sayatan lain, serta kesemuanya terbawa dan tersimpan rapih di almari khalbu yang rapuh dengan ratapan dekil.
Tinggal mengekori kayangan-kayangan imaji yang lemas dalam gigil, mencumbu rindu mencari serpihan obor kehidupan.
Sementara sebagian jiwa, mengorek-korek rindu-rindu yang padat nan karam, saat insan-insan lain di persada koloni mengambang, tampak saling tergelangsar tiada ingin menyatuh. Menyelinap entah kemana dan menyublim entah pada apa? Dalam kubanggan dada yang merah di atas kehidupan yang sudah memerah.
Baca Juga: Tiga Orang Terduga Teroris Ditangkap Densus 88, Ternyata Si ARH dan SN Pernah...
Seperti gumpalan awan pekat di kejar sinar sang mentari tercecer, menyembunyikan separuh hati dan rasa di mimbar hidup yang lama terluka, perih di palung relung tapi syaduh di bibir kaum sumbing.
Artikel Terkait
MPH: Kemenangan Bikin Rindu Kegagalan
Wow! SHE: Dua dari Tiga Menteri Perwakilan Nasdem yang Tak Tau Diri
MPH: Bonus Demografi Generasi Muda, Mata Tombak, Masa Mendatang Bagi Sumba Barat
Arti Ayah dan Ibu bagi Seorang Prabowo Subianto
Bharada E, Tuan Kopong MSF: Nilai Sebuah Kejujuran
Tetap Rukun dalam Perbedaan