LINTAS PEWARTA - Sebagai sebuah bangsa yang besar kita sudah kehilangan banyak tokoh-tokoh besar yang berintegritas. Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantoro, Sjahrir, KH. Hasyim Al-Asy'ari dll. hingga generasi sesudahnya, Gus Dur, WS. Rendra, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid, Buya Syafi'i Maarif, Azyumardi Azra dll., semuanya sudah meninggalkan kita.
Maka, berhati-hatilah dalam berucap dan bersikap, agar jangan sampai terjadi benturan baik horizontal maupun vertikal. Sebab jika benturan itu terjadi, sangat sedikit sekali tokoh-tokoh besar sekaliber beliau semua yang akan sanggup menjadi penengahnya.
Politik adalah soal persepsi yang terbangun dari latar belakang hidup dan pemikiran seseorang yang didapat dari pengalaman hidupnya maupun literasi bacaannya, siapapun tidak bisa mengadili atau menghakimi persepsi politik seseorang, bahkan negara sekalipun tak bisa mengadilinya kecuali yang bersinggungan dengan pelanggaran hukum.
Baca Juga: Kunker ke Satar Mese, Bupati Manggarai: Produksi Padi Tidak Menentu, Oleh Karena Itu...
Karena hukum sebagaimana konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang memuat aturan dan sanksi-sanksi (konkritisasi hukum) merupakan kontrak sosial, atau kesepakatan bersama (rakyat) baik secara langsung maupun melalui perwakilannya.
Olehnya dalam menyikapi perbedaan pandangan politik, sudah selayaknya kita semua menghadapinya secara wajar-wajar saja, tidak berlebihan, agar bangsa ini jauh dari pertikaian sesama anak bangsa yang sangat tidak perlu.
Sengketa dukungan pada para Capres/Cawapres dalam PILPRES demi PILPRES membuktikan, calon-calon yang kita dukung mati-matian pada akhirnya saling membaur, bekerjasama, bahkan pasca PILPRES 2019, Prabowo dan Sandiaga Uno masuk dalam Kabinet Pemerintahan Jokowi yang sebelumnya menjadi rival politiknya.
Baca Juga: Diisukan Terindikasi Pragmatis dan Transaksional, Ketua DPW Partai Perindo Jelaskan Begini!
Kalau sudah demikian maka siapa yang harus menanggung malu maupun bahagia? Ya kita semua yang sebelumnya saling serang menyerang satu sama lain itu. Tuhan dengan cara-Nya sudah menyelamatkan bangsa ini dari pertikaian yang tiada guna. Semoga tak terulang kembali.
Adalah sesuatu yang manusiawi ketika hati kita diberikan kecenderungan untuk mengagumi atau memfigurkan seseorang, mengagumi dan memfigurkan Jokowi atau Prabowo misalnya, sebagaimana seseorang yang berlawanan jenis yang diberikan kecenderungan hati untuk mencintai seseorang pilihannya.
Namun, kita seringkali lupa bahwa di pihak lainnya hatinya juga mempunyai kecenderungan untuk mengagumi dan memfigurkan seseorang, yang berbeda dengan orang yang kita kagumi dan figurkan.
Baca Juga: Wabup Sumba Barat: Cintai Lingkungan Sejak Dini, Kelestarian Lingkungan Akan Terus Terjaga
Jika kita tak menyadari persoalan ini, maka kita akan terjebak pada pemaksaan kehendak agar orang lain melalukan hal yang sama dengan kita: mengagumi dan memfigurkan orang yang kita kagumi dan figurkan.
Dari Bung Karno, Gus Dur hingga Jokowi memiliki jutaan pendukung, namun semua tokoh-tokoh besar itu juga memiliki lawan-lawan politiknya sendiri. Dan itu sah baik dari sudut pandang politik maupun demokrasi. Jangankan ketiga tokoh besar tersebut, bahkan Adolf Hitler pun memiliki jutaan pendukung dan musuh-musuh politiknya.
Artikel Terkait
Apel Korpri di Lapangan Kantor Bupati Sumba Barat Dibatalkan, Ada Apa?
Arti Ayah dan Ibu bagi Seorang Prabowo Subianto
Rayakan Natal Bersama TP PKK, Ini Harapan Bupati Yohanis Dade
Dorong Bangkitnya Para Pelukis, Bupati Sumenep Buka Pameran Hasil Karya
Bharada E, Tuan Kopong MSF: Nilai Sebuah Kejujuran
Hari Terakhir Pendaftaran PPL Desa di Wewewa Barat, Masyarakat Padat, Benarkah Masih Dibuka Lagi? Simak!